10 April 2008 | 15:32 WIB
Nama Al Amin Nur Nasution, lembaga DPR, grup musik Slank, dan lembaga pemberantasan korupsi KPK menjadi buah bibir dalam masyarakat kita saat ini. Hal itu terkait dengan tertangkapnya Amin, anggota DPR dari F-PPP oleh petugas KPK kemarin. Amin diduga menerima suap dari Sekda Pulau Bintan untuk pengalihan fungsi hutan lindung dan dijanjikan uang Rp3 miliar.
Saat ditangkap KPK uang yang disita hanya berkisar Rp70-an juta saja, namun barang bukti itu diduga hanya sebagian dari hadiah atau gratifikasi berupa uang, wanita muda dll.
DPR pun sedang apes, terpuruk, mengapa dengan DPR? Mereka lewat Badan Kehormatan DPR yang diketuai Gayus Lumbuun baru saja berseteru dengan grup musik Slank karena merasa terhina dan tercemar dengan lirik lagu ’’Gosip Jalanan’’ yang dinyanyikan vokalis Kaka di kantor KPK beberapa hari sebelum tertangkapnya Amin.
Slank dianggap mempermalukan DPR yang diidentikkan dengan Mafia Senayan. DPR sebagai lembaga pembuatan undang-undang/peraturan namun ujung-ujungnya duit. BK DPR berniat menggugat Slank. Namun pihak Slank kelihatannya tenang-tenang saja karena merasa lagu itu mereka ciptakan hanya sebagai hiburan dan kritik membangun sesuai fakta di masyarakat.
DPR secara ’’de facto’’ sudah lama disinyalir sebagai lembaga paling banyak kasus korupsinya, hanya sebagai alat/stempel pemerintah, dan kemarin citra lembaga terhormat itu kembali tercoreng sekaligus membuktikan kalau lagu Slank benar adanya.
Hal itu terkait dengan penangkapan oleh petugas KPK terhadap anggota DPR Amin Nasution bersama sejumlah orang di sebuah hotel di Jakarta. Sudah pastilah penangkapan itu terkait kasus korupsi, walaupun pembuktiannya bakal mengalami jalan panjang sebagaimana kasus-kasus yang menimpa anggota atau mantan anggota DPR lainnya.
Lain halnya dengan KPK. Lembaga pemberantasan korupsi itu belakangan ini semakin menunjukkan jati dirinya sebagai pendekar dalam medan pemberantasan korupsi, terutama yang nilainya miliaran rupiah. Banyak kasus korupsi yang tidak mampu diungkap oleh pihak kejaksaan di daerah berhasil diungkap KPK, seperti kasus korupsi mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Kasus Walikota dan Wakil Walikota Medan juga diselesaikan KPK di Jakarta.
Justru itu, kita melihat citra DPR sedang terpuruk dan KPK sedang bagus-bagusnya saat ini sehingga ke depan bisa semakin cemerlang dalam upaya pemberantasan penyakit korupsi yang sepertinya sudah berurat berakar dalam pemerintahan kita di pusat maupun daerah-daerah. Kalau ada usulan agar KPK mengembangkan sayapnya dengan membuka cabang atau KPK daerah di seluruh provinsi hal itu akan sangat bagus sehingga upaya menangkapi para koruptor bisa semakin banyak sekaligus menakutkan bagi para pejabat pemerintahan. Kalau hanya mengandalkan KPK Pusat saja, maka jumlah koruptor yang bisa diendus, ditangkap, dan dihukum jumlahnya sangat kecil.
Betapa sudah parahnya korupsi di negeri hukum kita saat ini dapat dilihat dari statement Konsul Amerika di Medan Sean Stein. Dia pernah mengatakan musuh bangsa Indonesia di masa lalu adalah PKI (Partai Komunis Indonesia), tetapi musuh kita saat ini mengganyang ’PKI’ yaitu Partai Koruptor Indonesia atau Partai Kroni Indonesia.
Oleh karena itu, kasus Amin diharapkan dapat menjadi pelajaran dan membuat takut para koruptor di Indonesia. Bahwa KPK dapat menyadap telepon pejabat kapan dan di mana saja, KPK punya alat canggih, sehingga tinggal waktunya saja untuk ditangkap dan mendekam di dalam bui. Mari kita support KPK, mari kita perangi KKN.=
Sabtu, September 06, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar