Selasa, Agustus 31, 2010
Slank The Rolling Stone Interview
Denny Ahmad Ramadhani sedang meladeni pertanyaan dari seorang jurnalis perempuan, Selasa, 15 Juni Siang itu ketika kami tiba di kantor Pulau Biru Productions di Gang Potlot, Jakarta Selatan. Manajer Slank itu menjawab pertanyaan seputar Slank yang diajukan sang jurnalis. Di luar ruang tamu kantor terlihat beberapa Slankers sedang berbincang. Pintu gerbang berwarna biru yang sedang terbuka seakan menyiratkan filosofi tempat itu yang siap menerima siapa saja.
Kain besar berisi promosi telepon genggam Nexian yang berisi tujuh lagu dari album terbaru Jurustandur No. 18 terpampang di atas garasi. Seluruh kegiatan Slank berpusat di Potlot: kantor manajemen ada di sana, begitu juga kantor redaksi Koran Slank, studio tempat latihan dan rekaman, dan tentu saja kediaman pemain drum Bimo Setiawan Almachzumi alias Bimbim, yang juga masih satu area dengan kediaman Bunda Iffet Sidharta—satu-satunya perempuan dengan predikat Rock & Roll Mom yang berusia 72 tahun dan masih terlihat segar.
“Bunda, apa yang bikin Bunda bangga sama Slank?” tanya jurnalis yang sudah selesai mewawancarai Denny dan kini bertanya pada Rock & Roll Mom yang siang itu sedang bersiap pergi ke Pekan Raya Jakarta. “Ke mana Slank pergi, selalu dihargai. Kalau main di luar negeri, pasti disambut oleh Konjen atau Dubesnya. Seperti kemarin kami main di Dubai,” jawabnya dengan nada berbunga-bunga.
Lantas dia pun bercerita soal perjalanan Slank yang tampil di Dubai pada 11 Juni 2010 serta bercerita soal nasib TKW yang disiksa majikannya karena tak bisa bekerja padahal sang majikan sudah membayar mahal. “Harusnya yang begitu-begitu ditulis sama wartawan,” katanya.
Tak lama, satu per satu anak-anak Bunda datang: Bimbim yang muncul dari dalam kantor (rumahnya ada di bagian belakang kantor manajemen), lantas vokalis Akhadi Wira Satriaji alias Kaka, yang beberapa menit kemudian disusul pemain bas Ivan Kurniawan Arifin alias Ivanka dan gitaris Ridho Hafiedz. Sedangkan gitaris Abdee Negara mengatakan datang terlambat karena anaknya berulang tahun hari itu. Predikat Rock & Roll Mom yang melekat pada Bunda Iffet akhirnya menjadikan Slank seperti sebuah keluarga besar rock & roll, apalagi melihat banyak dari para pengurus manajemennya masih berhubungan saudara: salah satunya Denny—atau, lebih populer dengan panggilan Bang Denny—yang masih sepupu Bimbim.
Album Jurustandur No. 18 berisi 17 lagu yang 13 buah di antaranya ditulis oleh Bimbim sendiri—itu karena di antara personel Slank lainnya, dia punya paling banyak waktu luang. “Soalnya gue nggak punya BlackBerry, gue nggak punya Facebook. Jadi waktu luang gue lebih banyak dari yang punya Facebook,” katanya sambil terkekeh dan mengatakan jika Slank dilarang manggung setahun lagi, bisa ada 27 lagu tercipta.
“Slank Recordsnya juga nggak menahan-nahan, setiap kami di studio seru-seru saja. Kalau kami nggak direm, ya sudah. Slank Records cuma kasih tenggang waktu, sementara kami kalau rekaman supercepat,” kata Kaka.
Selama tahun 2009, Slank nyaris tanpa manggung—kalaupun manggung, itu lebih banyak di ruangan tertutup. Banyak jadwal konser yang terpaksa dibatalkan karena tak mendapat izin dari kepolisian, dengan alasan macam-macam: mulai dari waktu yang dekat dengan pemilihan kepala daerah, dekat hari raya, atau tahun baru. Tahun ini, Slank terpaksa tak merayakan konser ulang tahun yang rutin digelar setiap tahun karena dianggap berdekatan dengan Natal dan tahun baru (padahal kegiatan ini rutin mereka lakukan, dan di malam tahun baru sebuah konser besar digelar di Ancol). Tahun ini, mereka mulai kembali bisa merasakan pertunjukkan di ruang terbuka dan menggelar pertunjukan di empat kota lewat tur Jurustandur bersama Yamaha Vega ZR: Karawang (20 Juni), Madiun (27 Juni), Kudus (4 Juli), dan Jambi (11 Juli).
Lantas untuk menyiasati pembajakan, Slank merilis tujuh lagu di album barunya lewat telepon genggam Nexian yang fitur-fiturnya berlogo Slank. Strategi ini berhasil, karena sejak Nexian edisi Slank dirilis, tak ditemukan versi bajakannya di pasaran—setidaknya sampai versi CD/kasetnya dikeluarkan. “Sekarang konsepnya diubah, beli kaos dapat album,” kata Bimbim. Maka album Jurustandur No.18 akan dijual bersamaan dengan kaos—seperti yang sudah mereka lakukan di Anthem For The Brokenhearted (2009).
Dalam wawancara ini, Bimbim dan Kaka terdengar cukup dominan dalam menjawab pertanyaan. Mungkin karena adanya beberapa faktor: Ketika bicara soal Slank, maka kemitraan Bimbim dan Kaka bagaikan kemitraan Mick Jagger dan Keith Richards di The Rolling Stones atau kemitraan Zaid Barmansyah dan Boris Simanjuntak di The Flowers. Dua pasang nama itu menjadi ikon dari kelompok musik masing-masing. Maka jawaban pertanyaan yang diajukan untuk band bisa terwakili dengan pernyataan Bimbim atau Kaka.
Menurut kalian, Slankers bisa dibagi ke berapa kategori? B: Kalau dari nama ya: Slank Fans Club, Slankers, dan Slank yang sudah mendengarkan musik Slank sudah seperti Slank-nya sendiri, menjiwai lagu-lagunya. Kalau Slank Fans Club itu yang baru tahu [Slank] dari lagu “Ku Tak Bisa” lalu bawa-bawa bendera di konser, dan kalau tersenggol lantas berantem. Kalau Slankers Club, yang sudah kolektor, sudah mengikuti kami. Yang Slank, sudah sama seperti kami, kalau bertemu sudah seperti teman lama yang nggak pernah bertemu.
Crowd di acara I Like Monday kemarin di Hard Rock Cafe yang bagaimana? B: Slankers dan Slank ya, nggak ada Fans Club. Ada respect, jadi bukan hanya “Ku Tak Bisa.”
Bagaimana perasaan Anda melihat orang-orang yang hanya tahu “Ku Tak Bisa”? B: Ya nggak apa-apa juga sih. K: Nggak apa-apa ya? Yaa... justru malah gue lihatnya, itu lagu sudah lama kan, tapi terus diregenerasikan oleh mereka sendiri. Umur lagu itu panjang dengan sendirinya lewat turun temurun. Dan kalaupun kami awalnya harus dikenal, untuk kalangan baru, dengan lagu “Ku Tak Bisa” ya nggak apa-apa juga. Banyak yang akhirnya mengulik ke belakang lalu berlanjut ke depan. Rata-rata umur 30 tahun ke atas itu pasti mengenal Slank lewat lagu “Ku Tak Bisa”, mungkin kalangan menengah ke atas.
Belakangan ini, lagu “Ku Tak Bisa” yang jadi pintu masuk perkenalan? B: Ya lagu “Ku Tak Bisa” dan teman-temannya, seperti “Kamu Harus Pulang”, “Terlalu Manis”, biasanya gara-gara datang ke konser, lalu datang ke Hard Rock Cafe atau di kafe-kafe, habis itu baru dia maju mundur beli album. K: Kalau nggak beli, at least browsing lah.
Kalian sadar ya, lagu bertema cinta bisa jadi awal buat menarik perhatian orang? K: Jadi trigger. B: Setiap album harus punya peluru, biasanya dua atau tiga. Kalau satu peluru gagal, masih ada cadangan buat menembak lagi, sisanya baru idealisme.
Tema cinta lebih mudah diterima? B: Dari awal memang kami tahu itu sih. Contohnya Led Zeppelin dengan “Stairway to Heaven.” Yang teringat dari Deep Purple, “Soldier of Fortune.” Yang nyangkut tuh sampai hari ini masih sering dibawakan dari Black Sabbath, “Changes.”
Katanya di setiap pertunjukan Slank sudah dilatih soal apa yang akan dibicarakan Kaka di panggung. K: Sebetulnya garis besar. Misalnya mau main di Live Earth, berarti opening biasa, say hi, lalu bicara tentang alam yang tadinya bagus, terus nyanyi lagi, di tengah bicara tentang alam sudah mulai rusak. B: Sembilan puluh persennya improvisasi. Jangan lupa bawakan ini, di sini kalau bisa kita keluarkan ini, kadang keluar kadang nggak.
Supaya yang lain tak kaget pada omongan Kaka ya. B: Kadang ada juga yang bikin kaget (terkekeh).
Di I Like Monday Hard Rock Cafe kemarin sepertinya Anda kaget waktu Kaka menyanyikan lagu “Poppies Lane Memories” dengan kata-kata yang frontal soal narkotika. B: Sebetulnya saat perkenalan sudah ngomong, ‘Orang berpikir ini tentang perempuan, padahal bukan, ini drugs.’ Sudah titik sampai situ, gue nggak nyangka dia malah ngebocorin semua [tertawa].
Itu karena pengaruh Jack D, Ka? K: Gue lihat tempat dan crowd. Gue selalu lihat event-nya juga. B: Dia pikir nggak ada wartawan [tertawa]. K: Ah, wartawan si dia-dia juga. Ya lihat crowd juga, should I talk about this or not? Dan nggak ada anak di bawah umur. Itu gimmick. Bagaimana caranya maintain selama dua setengah jam orang stick di situ, nggak ke mana-mana, itu susah.
Padahal kalian sudah manggung puluhan tahun. K: Tetap, bernyanyi sambil berpikir, ini apa lagi ya. Di atas panggung seperti di medan perang, bagaimana supaya tetap stabil. B: Apalagi kalau di stadion, bagaimana supaya nggak berantem. Di Ancol deh yang paling susah. K: Kami ingin klimaks, tapi sebelum klimaks sudah kisruh. Wah, harus diturunkan lagi.
Berarti sering sekali mengubah setlist. B: Terutama kalau ribut ya, atau kalau di klub, biasanya lagu ini dan ini, sisanya lepas. Kami lebih santai dalam acara yang tidak direkam atau taping. Wah enak nih, mau buka baju juga terserah. Kadang kalau ada banyak wartawan... lalu kalau mau taping kami rapat dulu, mau bawa lagu apa nih? Kalau nggak taping, mau ngomong jorok atau mau telanjang [tertawa].
Semakin banyak wartawan, Slank semakin jaim [jaga image]? B: Ya [tertawa]. Bukan jaim sih, tapi malu. K: Kalau bisa keberingasan atau kebrutalan cuma rumors orang, nggak tertulis. B: Nggak apa-apa juga sih. Cuma kadang kami rasa nggak semua orang bisa menerima apa yang kami lakukan. Tapi lain kalau di depan Slankers, mereka memang teman-teman kami.
Tapi bukannya bebas, karena citra kalian rock & roll? B: Bisa omong bebas? Ya sudah, next time gue begitu saja [tertawa].
Ternyata kalian masih menahan diri ya. K: Nggak menahan sih, lebih aware. Basic-nya respect, bagaimana caranya kami aware, supaya tingkah dan omongan nggak menyakiti orang. Karena terpuaskan, orang jadi mau datang lagi.
Apa kalian sensitif, takut ditulis jelek oleh wartawan? B: Kami bukan band yang takut ditulis jelek. Makin ditulis jelek, malah makin itu... Ivanka [I]: Yang dulu-dulu itu kurang jelek apa?
Atau takut memberi contoh tak bagus untuk orang lain? B: Ya kalau untuk anak-anak di bawah umur ada perasaan seperti itu sih. Seperti main di outdoor, kalau sore sudah pasti banyak anak underage, kami nggak akan bawakan lagu-lagu yang aneh.
Misalnya seperti apa? B: Seperti “Full Moon Blues”, nggak mungkin kami bawakan itu di depan KPK, atau di depan Konjen, nggak mungkin main “Anyer 10 Maret.”
Apalagi lagu “Cuma Untukmu (Anuku)” ya. B: Nah [tertawa]. Justru gara-gara pada ribut Ariel Peterporn jadi malah ingin membawakan.
Kesadaran akan anak-anak di bawah umur ini datang setelah kalian berkeluarga? K: Anak sudah bisa baca kan, bahaya. B: Baru saja kemarin anak cewek gue umur sembilan tahun bertanya, ‘Kasus porno itu apa, Pa?’ Itu kacau, bukan hanya video porno beredar di internet. Kalau anak kecil sudah nanya berarti sudah masuk ke segala sendi. Ya akhirnya gua jelaskan, ‘Itu gambar yang nggak pantas’.
Kalau suatu saat anak kalian tahu istilah sex, drugs and rock & roll? K: Sebetulnya gue nggak punya rasa ketakutan. Kemaren gue baru ngobrol sama Ivan. Level anak sebaiknya melewati tahapan umur yang harus dia lewati, cara berpikir juga. Kalau memang pada saat umurnya dia tahu sex, drugs and rock & roll, lalu entertainment live, night live, pada umur yang pas, kami sih nggak terlalu pusing. Kebanyakan, rata-rata yang umurnya belum pas sudah digiring ke situ. Anak yang umurnya belum sebaiknya main komputer sudah main komputer. Harusnya anak main di luar, lari-larian untuk melatih motoriknya, sudah main komputer. B: Anak gue sudah tahu. Dia tanya, ‘Drugs itu apa? Papa dulu [pakai] drugs ya?’
Apa yang Anda bilang? B: Oh itu masa lalu. ‘Dasar bandel,’ paling dia menjawab itu.
Ridho, anak Anda paling banyak. Khawatir kah soal itu? Ridho [R]: Asal sesuai dengan usianya saja, sesuai waktunya. Seperti sekarang, laptop sudah mudah dipakai. Niatnya ingin browsing situs anak, tapi sering disusupi hal-hal porno.
Slank lebih khawatir tentang pornografi atau narkotika? K: Sama saja. B: Tapi kalau narkoba, kami punya pengalaman, jadi lebih tahu. Dan anak pun bisa belajar, ‘Oh bapak gue dulu begitu, jadi nggak- akan ikut. Tapi kalau porno ini bahaya, terlalu mudah ditemukan di internet. Itu kenapa anak gue sampai umur 13 tahun nggak boleh sendirian di depan komputer, harus panggil ibunya atau bokapnya.
Selanjutnya baca edisi 65
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar