Jumat, September 12, 2008

Rumah Mimpi, Rumah Rakyat

















Di rumahku, banyak tanaman Dari kamboja bali sampai rambutan aceh
Bimbim di pendopo rumah.

Apa definisi rumah rakyat? Sebuah tempat rakyat bisa berkumpul dan merasa nyaman dengan semua kesamaan maupun perbedaan. Tempat rakyat bebas dan leluasa menyampaikan suara nurani masing-masing, dengan keyakinan aspirasi itu pasti akan disampaikan oleh wakil pilihan mereka. Ah, terasa seperti mimpi, bukan?

Namun, di Jalan Potlot III/14, Jakarta Selatan, mimpi itu sengaja ditampung sebebas-bebasnya untuk kemudian diwujudkan bersama. Dua puluh lima tahun silam, Bimo Setiawan Almachzumi pun baru bisa bermimpi bahwa suatu saat band yang ia bentuk bisa masuk dapur rekaman, diterima masyarakat, dan menjadi nama besar di negeri ini.

Kini, seperti kita ketahui bersama, mimpi itu telah terwujud jauh melampaui apa yang pernah dibayangkan. Bimbim (demikian Bimo dipanggil) bersama empat temannya, Kaka, Ivanka, Ridho, dan Abdee Negara, telah menjadi bagian besar dari sejarah musik Indonesia. Konon, mereka punya sedikitnya 30 juta "pengikut", yang akan selalu mengibarkan bendera kupu-kupu Slank di mana pun mereka tampil di pentas. "Semuanya berawal di rumah ini," kata Bimbim di salah satu sudut rumah itu, Rabu (23/4).

Sejak mereka dikenal publik setelah sukses dengan album perdana tahun 1990 (waktu itu masih dengan formasi awal: Bimbim, Kaka, Bongky, Indra, dan Pay), nama Slank identik dengan markas mereka yang populer disebut Gang Potlot. Anak-anak muda yang bermimpi membentuk band sesukses mereka pun berdatangan dan sering berkumpul di situ.

"Setelah God Bless, waktu itu tak ada lagi band rock yang muncul di Indonesia. Di sini tempatnya anak band bermimpi. Anang datang dari Jember, Dhani (Ahmad Dhani, pendiri Dewa 19) dan Ari Lasso datang dari Surabaya. Thomas dan Ronald (dua personel awal GIGI) juga sering ngumpul di sini," kenang Bimbim.

Bersahaja

Dari luar, rumah Slank di Gang Potlot itu sama sekali tidak mencerminkan markas sebuah band yang telah menelurkan 17 album, yang masing-masing terjual antara 300.000-1.000.000 copy. Bahkan, kalau belum pernah datang ke tempat itu, besar kemungkinan orang akan terlewat karena bentuk rumah yang sangat sederhana.

Bagian depan rumah yang berbatasan langsung dengan jalan hanya didominasi dinding beton kasar berwarna kelabu kusam tanpa cat. Dinding itu penuh coretan spidol para Slankers yang pernah datang ke tempat itu.

Satu-satunya yang menandakan itu adalah rumah Slank adalah beberapa lukisan grafiti besar dan warna-warni di sebuah dinding di salah satu sudut halaman yang rindang. Itulah dinding studio Slank, tempat mereka berlatih, berdiskusi, menggubah lagu, merekam, dan merampungkan album-album mereka. "Ini dulunya sekolah TK, namanya TK Harapan Mulya. Tapi karena program KB berhasil, gak ada lagi anak-anak di sini, jadi TK-nya tutup, kami jadikan studio, he-he-he," tutur Bimbim tentang bangunan yang berada di seberang bangunan induk itu.

Sejak album keempat, Slank memproduksi sendiri albumnya di bawah bendera Pulau Biru Production. Sejak itu, seluruh aktivitas Slank dipusatkan di rumah Gang Potlot. Mulai dari kantor manajemen Slank, studio rekaman, laboratorium pascaproduksi, redaksi Koran Slank, produksi dan manajemen produk digital, manajemen website, pabrik merchandise, toko suvenir dan merchandise, hingga Warung Potlot, sebuah warung nasi sederhana untuk masyarakat umum dan para Slankers yang datang berkunjung. "Kaka pernah bilang, dulu hanya lima persen dari rumah ini buat Slank, tetapi sekarang sudah lebih dari 50 persen buat kegiatan Slank," ungkap Bimbim.

Keluarga

Meski lebih dari separuh rumah itu sudah menjadi kantor Slank, kehidupan pribadi para penghuninya tetap terjaga. Sampai sekarang, Bimbim masih selalu berkumpul dengan seluruh keluarga untuk sarapan bersama.

Bimbim dan kakak sulungnya, dengan keluarga masing-masing, masih tetap tinggal di Gang Potlot. "Saat sarapan itulah bokap ngajak diskusi dan ngajarin banyak hal. Mulai dari membahas isu terbaru yang dimuat koran sampai memberi buku-buku. Mulai buku tentang Bung Karno, ekonomi, politik, sejarah, sampai buku How To Write A Song," imbuh Bimbim.

Sidharta M Soemarno, ayah Bimbim, membangun rumah di pinggir kali kecil itu pada 1968. Sejak itu, pasangan Sidharta dan Iffet V Sidharta tinggal di rumah berhalaman luas (total luas tanahnya sekitar 2.000 meter persegi) itu bersama anak-anaknya. "Gue pindah ke sini sejak umur setahun. Sejak dulu, rumah ini menjadi tempat kumpul anak-anak kecil. Kaka sudah main di sini sejak kecil," ujar Bimbim tentang vokalis Slank yang masih sepupunya itu.

Iffet, yang lebih sering dipanggil Bunda Iffet, sudah dianggap ibu bagi Slank karena sejak awal selalu mendukung langkah Bimbim dan teman-temannya. Bahkan, sejak 1997, Bunda Iffet sendiri yang memimpin Pulau Biru Production. "Zaman dulu, Bunda selalu pesan, ’kamu boleh nakal, tapi daripada kleleran di tempat gak jelas, mending teman-temanmu yang diajak ke rumah’," kenang Bimbim.

Rakyat

Kini, rumah itu sudah tidak lagi sebatas rumah bagi keluarga Sidharta saja. Hampir setiap hari rumah itu didatangi para penggemar Slank yang disebut Slankers dari seluruh penjuru Tanah Air. Bahkan, pada tanggal-tanggal tertentu, seperti ulang tahun Slank, 26 Desember, atau ulang tahun setiap personelnya, rumah itu penuh sesak. "Jalan Pasar Minggu selalu macet pas tanggal-tanggal itu," ungkap Bimbim.

Antara rumah induk dan studio ada semacam lorong beratap beton yang berfungsi ganda. Bagian bawah digunakan sebagai garasi mobil, sementara atapnya dijadikan panggung tempat Slank menyanyikan suara rakyat tentang cinta, generasi muda, kritik sosial, sampai lingkungan hidup.

Di bawah atap itu pula mereka menerima Ketua KPK Antasari Azhar, 16 April lalu. Keterbukaan dan keberagaman orang-orang yang datang ke rumah itu mengilhami Bimbim menulis lagu Di Rumahku, yang ada dalam album Slankissme (2006).

Di rumahku, banyak orang-orang

Yang tidak pernah berkelahi, s’lalu damai...

Rumah Potlot adalah rumah rakyat yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar: