Senin, September 15, 2008

Slank dan ``Mafia Senayan``


Judul : Slank dan "Mafia Senayan"
Penulis : Raka Revolta
Penerbit : Bio Pustaka
Tahun : 2008
Genre : Sosial Politik
Tebal : 116 Halaman
ISBN : 978-602-8097-08-6


Kritik Terhadap Wakil Rakyat

Slank adalah salah satu band di tanah air yang konsisten dan punya kepedulian dengan kondisi sosial dan politik –terlihat dari lirik lagu-lagu Slank yang syarat dengan kritik sosial, terutama korupsi. Perilaku korupsi sepertinya menjadi sesuatu yang lumrah di Indonesia, seakan menjadi bagian budaya dari masyarakat. Hal itulah yang menjadi dasar keprihatinan Slank dan kemudian mengangkat kritik sosial tersebut melalui lirik lagu. Tak heran mereka kemudian dijadikan "Duta Anti Korupsi" oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ditambah, perjalanan panjang selama 24 tahun mengarungi musik telah membuktikan eksistensi Slank sebagai band papan atas dengan kualitas ”legenda”.

Buku berjudul Slank dan "Mafia Senayan" yang ditulis oleh Raka Revolta ini mencatat episode-episode penting dalam perjalanan hidup dan karier bermusik Slank yang bersinggungan langsung dengan kreativitas musik, sosial, dan politik. Lirik dan tema lagu yang Slank tawarkan akrab dengan lingkungan sehari-hari, ada protes dan kritik.

Slank dan Korupsi menjadi bagian cerita menarik dalam buku ini. Sejak kedatangan Slank ke kantor KPK, 24 Maret 2008 untuk menyatakan dukungannya terhadap KPK yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi. Dari sanalah kontroversi itu bermula. Awalnya mereka hanya mengadakan pertunjukan sederhana bertajuk "Bangkit dan Lawan Korupsi" di kantor KPK. Namun, gara-gara lagu yang berjudul Gosip Jalanan yang telah dirilis pada 2004 itu, Slank harus berurusan dengan DPR-RI. Ternyata lirik lagu tersebut membuat panas telinga orang-orang di Senayan.

Melalui Badan Kehormatan DPR-RI, para wakil rakyat itu merasa disudutkan sebagai anggota dewan lewat lirik lagu tadi. Kenapa baru dipermasalahkan sekarang? Padahal mengkritik pemerintah dengan gaya slenge’an telah menjadi ciri khas band ini sejak dulu. Lagu Gosip Jalanan adalah hal yang normal dalam proses berdemokrasi. Kata ”mafia Senayan” dalam lagu tersebut bukan mengartikan DPR-RI adalah mafia. Namun ironisnya hanya dalam hitungan jam setelah DPR-RI bersikap keras terhadap Slank atas kritik dalam syair lagunya, KPK menangkap Al Amin Nur Nasution anggota DPR-RI yang dituduh menerima uang suap dari pejabat Pemkab Bintan dengan kasus izin pengalihan fungsi Hutan Lindung Bintan Binyu menjadi Ibu Kota Kabupaten Bintan. Penangkapan itu seolah membenarkan apa yang didendangkan Slank tentang adanya mafia dikalangan politisi Senayan. Tidak hanya itu penangkapan anggota DPR yang terkait kasus korupsi pun terus bergulir di antaranya Bulyan Royan, Hamka Yandhu, dan Sarjan Tahir. DPR-RI pun seakan bungkam dan sepertinya mereka tidak belajar dari kesalahan sebelumnya.

Seni bagi kalangan seniman juga bisa sebagai alat perjuangan terutama dalam menyuarakan kritik sosial. Slank bukanlah band, musisi atau penyanyi pertama yang bersikap kritis. Sebelumnya sudah banyak seniman yang kritis dan melantunkan kritik-kritik sosial lewat syair lagunya. Seperti Iwan Fals, Leo Kristi, Franky Sahilatua, Wiji Thukul, dan Harry Roesli. Mereka malah dengan keras mengejek tabiat perilaku politisi kita, dan bukan hanya seniman dengan lagu kritik sosialnya. Bahkan kalangan sastrawan dan budayawan pun juga ikut menyuarakan kegelisahan dan ketimpangan yang ada di masyarakat, seperti WS Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Sungguh naif jika kerangka berpikir politisi kita sekarang kembali ke masa Orde Baru. Tidak bisa menerima protes dan kritikan.

Kritik sosial dari seniman seperti Slank harusnya menjadi bahan bagi para politisi kita untuk menginstrospeksi diri, agar amanah yang diberikan rakyatnya benar-benar diwujudkan bukan malah diselewengkan. Haruskah Slank dengan karyanya bernasib sama seperti yang dialami Iwan Fals, WS Rendra dan Pramoedya Ananta Toer? Buku Slank dan "Mafia Senayan" mampu menjadi sebuah kisah yang menarik.

Tidak ada komentar: